Salam...

Senin, 04 Maret 2013

SIAPA YANG DIINGINKAN KAPITALISME?


Menelusuri Sosok Calon Presiden 2014-2019 Yang Akan Dijagokan Kapitalisme

Negara ini memang telah berusia diatas 67 tahun. Seharusnya  diusia itu kemandirian negara tidak lagi dipertanyakan. Tapi berbeda dengan negara kita, diusia yang sudah memasuki usia senja itu, negara kita seharusnya sudah mandiri, rakyatnya pun sudah bisa berpikir mandiri. Artinya sudah dapat menentukan keputusannya sendiri. Tanpa harus “digiring” oleh keinginan sekelompok orang baik itu dari luar maupun dari dalam bangsa ini.
Sudah seharusnya kita memilih pemimpin berdasarkan keputusan kita sendiri, dengan kearifan cara pandang masyarakatnya sendiri. Rakyat tahu apa yang diinginkannya. Rakyat mengerti bagaimana figur pemimpin yang bisa membawanya bisa lebih sejahtera. Setidaknya pemimpin yang tidak membuatnya antri membeli beras, antri membeli BBM, bisa menikmati tempe dan berbagai kebutuhan primer lainnya.
Tapi negara kita memang adalah bagian dari sebuah sistem dunia yang keras. Dimana “kekerasan” ini tercipta karena nafsu serakah para penganut kapitalisme dan hedonisme. Imperialisme kapitalis memang tidak pernah ikhlas menyerahkan kemerdekaan dan kedaulatan sejati untuk rakyat Indonesia bahkan negara-negara lainnya. Mereka terus menancapkan kuku-kukunya disemua belahan dunia melalui agen-agen yang tidak kasat mata.
Di usia 67 tahun lebih ini, negara kita telah mengalami 6 kali pergantian presiden dengan 6 karakter yang berbeda juga. Karakter setiap presiden selalu diinginkan sejalan dengan kehendak para imperialisme kapitalis. Jika tidak maka pemimpin tersebut biasanya tidak akan bertahan lama. Lihatlah! Soekarno yang begitu gagah dengan konsep nasionalismenya, akhirnya tidak mampu melawan hegemoni kapitalis yang memang sangat jatuh cinta dengan sumber daya yang ada di Indonesia. Melalui restu kaum kapitalis Soeharto naik bertahta menggantikan Soekarno. Melihat sepak terjangnya selama 32 tahun berkuasa, Soeharto merupakan sosok yang dijadikan penjaga kepentingan kapitalis di bumi pertiwi ini. Ketika Pak Harto sudah dianggap tak mampu lagi menjaga kepentingan para kapitalis (khususnya pihak asing), maka dengan menyerang sendi-sendi perekonomian Indonesia Pak Harto pun harus lengser keprabon.
Dimasa transisi, naiklah Habibie menggantikan Soeharto –yang memang ketika menjadi wakil presiden tentunya telah mendapat restu. Mungkin bukan murni persoalan like and dislike oleh imperialisme karena Habibie rupanya juga mendapatkan resistensi yang kuat dari sebagian besar rakyat yang masih memasuki fase sangat anti dengan hal-hal yang berbau orde baru sehingga tidak dapat melanjutkan kepemimpinannya untuk periode ke-2. Pasca Habibie, keadaan memang seolah susah dikendalikan oleh para kapitalis karena bersatunya seluruh elemen pro demokrasi. Sehingga keinginan kapitalis berbeda dengan hasil para wakil rakyat di Senayan yang saat itu “terpaksa” mengambil jalan tengah. Sehingga dipilihlah Gus Dur untuk menjadi presiden mengalahkan Megawati yang sejatinya lebih disukai oleh kaum kapitalis.
Keberadaan Gus Dur yang sejak dulu membawa energi perlawanan kepada imperialisme kapitalis asing membuat golongan penjajah ini tidak nyaman menjalankan segala kepentingannya di bumi pertiwi ini. Meskipun secara substansi Gus Dur telah membuat banyak perubahan bagi negara ini menuju negara demokrasi tapi dia tetap menghadapi rongrongan. Sehingga melalui rekayasa politik yang tinggi Gus Dur harus tumbang dan digantikan orang yang dulu pernah dikalahkannya, Megawati. Pergantian kepemimpinan ini membuat para kaum kapitalis baik asing maupun lokal sedikit bernafas lega dan mampu melakukan konsolidasi untuk mempersiapkan “Sang Penjaga Baru” yang lebih kooperatif dengan kepentingan mereka sekaligus  figur yang lebih bisa diterima oleh rakyat.
Kemudian, dibuatlah opini untuk membentuk persepsi masyarakat bahwa SBY adalah sosok yang paling ideal untuk memimpin negara ini. Hasil pemilu pun sangat sesuai dengan keinginan mereka. Bahkan sampai dua kali, SBY tetap terpilih secara meyakinkan dan dianggap memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat.
Kini, setelah SBY tidak dapat lagi melanjutkan “tugasnya”, telah banyak tokoh yang muncul kepermukaan untuk “ditawarkan” kepada rakyat sebagai penggantinya. Sangat susah menebak karena tingkat eskalasi politik yang sangat tinggi saat ini. Dimana banyak partai politik besar mengalami perpecahan dan guncangan. Nasdem yang dulu sempat dianggap memiliki kans untuk berkuasa tapi juga mengalami perpecahan internal. PKS yang sebenarnya juga masuk dalam sistem yang diinginkan kapitalis, kini kekuatannya direduksi agar tidak betul-betul menjadi besar. Demokrat yang dulu dijadikan kendaraan politik kaum kapitalis kini juga mengalami guncangan hebat pasca ditetapkannya mantan ketua umumnya Anas Urbaningrum menjadi tersangka oleh KPK.
Kita masih menanti siapa yang diinginkan para kaum komsumtif ini. Kita berharap rakyat harus bisa menilai kecendrungan penggiringan para kapitali Dus,  jangan dituruti!. Karena kita pemilik bangsa ini? Bukan mereka..... MERDEKA!!!. 

Tidak ada komentar: