Menelusuri Sosok Calon Presiden 2014-2019 Yang Akan Dijagokan Kapitalisme
Negara ini memang
telah berusia diatas 67 tahun. Seharusnya
diusia itu kemandirian negara tidak lagi dipertanyakan. Tapi berbeda
dengan negara kita, diusia yang sudah memasuki usia senja itu, negara kita
seharusnya sudah mandiri, rakyatnya pun sudah bisa berpikir mandiri. Artinya
sudah dapat menentukan keputusannya sendiri. Tanpa harus “digiring” oleh
keinginan sekelompok orang baik itu dari luar maupun dari dalam bangsa ini.
Sudah seharusnya kita memilih pemimpin berdasarkan keputusan
kita sendiri, dengan kearifan cara pandang masyarakatnya sendiri. Rakyat tahu
apa yang diinginkannya. Rakyat mengerti bagaimana figur pemimpin yang bisa
membawanya bisa lebih sejahtera. Setidaknya pemimpin yang tidak membuatnya
antri membeli beras, antri membeli BBM, bisa menikmati tempe dan berbagai
kebutuhan primer lainnya.
Tapi negara kita memang adalah bagian dari sebuah sistem
dunia yang keras. Dimana “kekerasan” ini tercipta karena nafsu serakah para
penganut kapitalisme dan hedonisme. Imperialisme kapitalis memang tidak pernah
ikhlas menyerahkan kemerdekaan dan kedaulatan sejati untuk rakyat Indonesia
bahkan negara-negara lainnya. Mereka terus menancapkan kuku-kukunya disemua
belahan dunia melalui agen-agen yang tidak kasat mata.
Di usia 67 tahun lebih ini, negara kita telah mengalami 6
kali pergantian presiden dengan 6 karakter yang berbeda juga. Karakter setiap
presiden selalu diinginkan sejalan dengan kehendak para imperialisme kapitalis.
Jika tidak maka pemimpin tersebut biasanya tidak akan bertahan lama. Lihatlah!
Soekarno yang begitu gagah dengan konsep nasionalismenya, akhirnya tidak mampu
melawan hegemoni kapitalis yang memang sangat jatuh cinta dengan sumber daya
yang ada di Indonesia. Melalui restu kaum kapitalis Soeharto naik bertahta
menggantikan Soekarno. Melihat sepak terjangnya selama 32 tahun berkuasa,
Soeharto merupakan sosok yang dijadikan penjaga kepentingan kapitalis di bumi
pertiwi ini. Ketika Pak Harto sudah dianggap tak mampu lagi menjaga kepentingan
para kapitalis (khususnya pihak asing), maka dengan menyerang sendi-sendi
perekonomian Indonesia Pak Harto pun harus lengser
keprabon.
Dimasa transisi, naiklah Habibie menggantikan Soeharto –yang
memang ketika menjadi wakil presiden tentunya telah mendapat restu. Mungkin
bukan murni persoalan like and dislike oleh
imperialisme karena Habibie rupanya juga mendapatkan resistensi yang kuat dari
sebagian besar rakyat yang masih memasuki fase sangat anti dengan hal-hal yang
berbau orde baru sehingga tidak dapat melanjutkan kepemimpinannya untuk periode
ke-2. Pasca Habibie, keadaan memang seolah susah dikendalikan oleh para
kapitalis karena bersatunya seluruh elemen pro demokrasi. Sehingga keinginan
kapitalis berbeda dengan hasil para wakil rakyat di Senayan yang saat itu
“terpaksa” mengambil jalan tengah. Sehingga dipilihlah Gus Dur untuk menjadi
presiden mengalahkan Megawati yang sejatinya lebih disukai oleh kaum kapitalis.
Keberadaan Gus Dur yang sejak dulu membawa energi perlawanan
kepada imperialisme kapitalis asing membuat golongan penjajah ini tidak nyaman
menjalankan segala kepentingannya di bumi pertiwi ini. Meskipun secara
substansi Gus Dur telah membuat banyak perubahan bagi negara ini menuju negara
demokrasi tapi dia tetap menghadapi rongrongan. Sehingga melalui rekayasa
politik yang tinggi Gus Dur harus tumbang dan digantikan orang yang dulu pernah
dikalahkannya, Megawati. Pergantian kepemimpinan ini membuat para kaum
kapitalis baik asing maupun lokal sedikit bernafas lega dan mampu melakukan
konsolidasi untuk mempersiapkan “Sang Penjaga Baru” yang lebih kooperatif
dengan kepentingan mereka sekaligus figur
yang lebih bisa diterima oleh rakyat.
Kemudian, dibuatlah opini untuk membentuk persepsi masyarakat
bahwa SBY adalah sosok yang paling ideal untuk memimpin negara ini. Hasil pemilu
pun sangat sesuai dengan keinginan mereka. Bahkan sampai dua kali, SBY tetap
terpilih secara meyakinkan dan dianggap memiliki legitimasi yang kuat dari
rakyat.
Kini, setelah SBY tidak dapat lagi melanjutkan “tugasnya”,
telah banyak tokoh yang muncul kepermukaan untuk “ditawarkan” kepada rakyat sebagai
penggantinya. Sangat susah menebak karena tingkat eskalasi politik yang sangat
tinggi saat ini. Dimana banyak partai politik besar mengalami perpecahan dan
guncangan. Nasdem yang dulu sempat dianggap memiliki kans untuk berkuasa tapi
juga mengalami perpecahan internal. PKS yang sebenarnya juga masuk dalam sistem
yang diinginkan kapitalis, kini kekuatannya direduksi agar tidak betul-betul
menjadi besar. Demokrat yang dulu dijadikan kendaraan politik kaum kapitalis
kini juga mengalami guncangan hebat pasca ditetapkannya mantan ketua umumnya Anas
Urbaningrum menjadi tersangka oleh KPK.
Kita masih menanti siapa yang diinginkan para kaum komsumtif
ini. Kita berharap rakyat harus bisa menilai kecendrungan penggiringan para
kapitali Dus, jangan dituruti!. Karena
kita pemilik bangsa ini? Bukan mereka..... MERDEKA!!!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar