REFLEKSI PENYELENGGARAAN UJIAN NASIONAL (UN) TH 2013:
Justifikasi Kecurangan Sampai Meredukdsi Wibawa Guru
“Buat ape kite belajar serius, nanti juge kite dibantu menjawab soal ujian. Kan guru malu kalo kita tak lulus?”… Inilah kalimat yang cukup sering diungkapkan oleh anak-anak sekolah hari ini ketika akan menghadapi ujian. Sebuah ungkapan ironis dalam konteks peningkatan kualitas pendidikan nasional kita. Secara tidak langsung ini juga merupakan sikap apatis terhadap dunia belajar mengajar di Negara ini.
Ungkapan diatas hanyalah salah satu kalimat yang sering diungkapkan untuk menggambarkan keseluruhan proses penyelenggaraan UN. Dalam konteks peningkatan kualitas pendidikan maka ungkapan tersebut menggambarkan sebuah fakta miris dalam system pendidikan nasional kita. Ketika individu-individu yang dihasilkan dunia pendidikan kita justru banyak yang menjadi “penghancur” moral bangsa. Ketika output system pendidikan kita sering dipertanyakan, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) justru menciptakan sekaligus mempertahankan suatu system yang penuh kontroversi dan justru semakin melemahkan nilai-nilai edukasi negara kita.
Polemik penyelenggaraan Ujian Nasional sepertinya sudah menjadi tradisi tahunan untuk diperdebatkan. Disatu sisi pihak Kementerian Pendidikan Nasional dengan berbagai argumennya berusaha mati-matian mempertahankan kelangsungan penyelenggaraan Ujian Nasional. Dipihak lain para aktivis LSM, pemerhati pendidikan bahkan mungkin juga pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan UN seperti lembaga-lembaga sekolah dan masyarakat umumnya meminta agar UN tidak dilaksanakan lagi. Perdebatan ini mungkin akan terus terjadi dan tak akan berhenti selama penyelenggara UN yaitu Kemendiknas tidak mampu menemukan formula terbaik untuk melaksanakan UN.
UN dalam realitasnya telah menjelma menjadi momok menakutkan bak monster dalam cerita rakyat yang selalu datang setiap tahun untuk meminta tumbal. Bukan hanya calon peserta UN yaitu siswa-siswi tingkat akhir pada level masing-masing yang menunggu dengan penuh “ketakutan” tibanya “mahluk” bernama UN ini. Mulai dari guru, kepala sekolah, para orang tua semuanya seperti alergi dengan mahluk bernama UN. Semuanya bertanya-tanya didalam hati siapa lagi yang akan menjadi tumbal tahunan?…
Ketakutan-ketakutan ini kemudian menjadi berlebihan sehingga mendorong pada terciptanya berbagai siasat untuk menghindari hasil buruk. Ketakutan-ketakutan yang kemudian menjelma menjadi hantu yang selalu menggiring pada kesesatan. Kesesatan mewujud pada terkondisikannya berbagai upaya kecurangan. Kesesatan ini kemudian termanifestasi dalam wajah pembiaran kolektif dalam melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai kesucian sebuah pendidikan.
Sebagai orang tua, tidak satu pun dari mereka yang mau anaknya dijadikan tumbal UN dengan alasan pendataan, standarisasi, demi peningkatan kualitas pendidikan nasional atau apapun itu. Bahkan pihak pemerintah setempat pun ikut-ikutan sibuk memberikan “pengamanan” agar kualitas pendidikan di dalam wilayah teritorial mereka tidak dicap gagal. Oleh karena itu, atas nama menyelamatkan “muka” sekolah dan pemerintah daerah setempat dilakukanlah berbagai upaya meskipun harus menciderai nilai-nilai yang justru lekat dengan dunia pendidikan itu sendiri.
Dalam sebuah kasus, kepala sekolah bahkan memerintahkan siswanya yang menjadi peserta UN untuk membuka buku sewaktu berlangsungnya ujian jika siswa tersebut tidak tahu jawaban soal. “Tim Sukses” pun dibentuk untuk membantu meluluskan peserta ujian baik itu bertugas selama ujian berlangsung maupun setelah ujian. Peristiwa ini bukan lagi sesuatu yang dianggap aurat tetapi sudah mentradisi secara turun temurun. Siswa yang mengikuti ujian tahun ini pun akan mewariskan cerita “memalukan” ini pada adik kelasnya nanti.
Saat masuk ke kelas 1 (satu), sang guru menanamkan nilai-nilai kejujuran. Ketika berada di kelas 2 (dua), sang pendidik pun menguatkan nilai-nilai ideal tersebut. Tapi disaat menginjakkan kaki di kelas 3 (tiga) perlahan peserta didik mengetahui bahwa apa yang pernah diajarkan gurunya tidaklah seratus persen dijaga oleh guru bersangkutan. Kegiatan belajar mengajar, pelajaran tambahan, try out seolah-olah hanya menjadi formalitas belaka. Karena toh mereka tahu bahwa nanti bila tiba masanya bantuan akan datang. Bahwa sesungguhnya para pendidik yang mengajar mereka juga menjustifikasi kegiatan contek menyontek, membuka buku kala ujian dan berbagai kecurangan lainnya dalam UN nanti.
Peristiwa diatas bukanlah rekaan semata. Bukan juga cerita dari mulut ke mulut. Melainkan tragedy yang terjadi secara nyata dan memiliki validitas tinggi sebagai suatu informasi. Ibarat mutawatir dalam kaidah hukum periwatan sebuah hadis. Bahwa telah terjadi pembiaraan kebohongan massal adalah kenyataan yang tak bisa dibantah. Bahwa tergerusnya wibawa guru merupakan tragedy memilukan dalam dunia pendidikan. Bahwa semakin hilangnya kepercayaan semesta kepada dunia pendidikan adalah kondisi riil dunia pendidikan nasional kita. Bahwa 3 (tiga) tahun, 6 (enam) tahun atau bahkan lebih lama dari itu, penanaman nilai-nilai moral sebagai efek pendidikan terhapus seketika hari itu juga adalah suatu sejarah pahit yang akan terus mendiami memori kolektif anak-anak didik.
Melihat realitas diatas yang begitu memilukan masih pantaskan para stakeholders dibidang pendidikan nasional bertahan dengan berbagai argument yang terkesan dibuat-buat. Bisakah hasil ujian nasional yang penuh kebohongan dijadikan barometer standar kualitas pendidikan kita? Dapatkah hasil UN yang sarat kecurangan dijadikan dasar pemetaan dunia pendidikan kita? Validkah hasil UN yang sesungguhnya lebih merupakan hasil kerja guru-guru bidang studi bersangkutan untuk dijadikan tiket masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN)? Masih pantaskah penyelenggaraan UN yang sarat nilai proyek materil dilaksanakan jika harus mengorbankan kewibawaan guru?
Sejatinya masih banyak pertanyaan yang menggelayut di hati masyarakat kita. Tetapi beberapa pertanyaan diatas mungkin dapat mewakili keresahan social yang terjadi selama pelaksanaan UN. Bahwa UN memiliki dampak positif jelas iya. Tapi efek negatif yang ditimbulkan juga jelas lebih besar. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian lebih arif agar UN dapat menemui sasaran tanpa harus mengorbankan peserta didik dan guru. Skema pelaksanaan UN juga harus dikonstruk ulang sehingga kesan angker tidak melekat padanya. Sejatinya pun reorientasi penegakan nilai-nilai moral harus terintegrasi dalam penyelenggaraan UN.
Sebagai suatu hasil olah pikir para ahli pendidikan, sebagai hasil “studi banding” dari kebijakan system pendidikan dari negeri bule sono mungkin tidak juga terlalu tepat jika UN dihapuskan begitu saja. Bahkan mungkin tetap harus ada tapi tentu dengan skema, orientasi dan paradigma yang berbeda. Dan tentunya, unsur-unsur filosofis UN yang lahir di Barat sana harus terpenuhi terlebih dahulu di negeri ini. Atau jika tidak, dunia pendidikan kita semakin jatuh, moralitas anak negeri kedepannya semakin ambruk dan Negara semakin terpuruk?!.
ARM files
Tempatnya sharing ilmu pengetahuan...
Minggu, 19 Mei 2013
Kamis, 02 Mei 2013
Khutbah Jumat: Keteladanan Abu Bakar Ash Siuddiq
Rabu, 01 Mei 2013
UJE DAN TELADAN
Kamis, 14 Maret 2013
Khutbah Jumat: Akhlaq Mulia adalah Sasaran Dakwah Rasulullah SAW
Suatu ummat akan abadi dan jaya
Bila budi akhlaq masih ada
padanya
Ummat
itu akan hancur dan binasa
Bila
akhlaq dan budi telah tiada.
Begitu bunyi madah penyair Mesir
yang bernama Syauqi Bey.
Hal ini sejalan dengan hadist
Rasulullah saw yang terkenal:
“Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlaq”.
Seterusnya silahkan download disini!...
Senin, 11 Maret 2013
Proposal Budi Daya Ikan Tambak
Kamis, 07 Maret 2013
Post Hegemony XIV: Laa haula walaa quwwata ilabillahil aliyyil adhiim
Setelah khalwat selama enam hari di ruang samping mushola, pada malam hari ketujuh Obeth keluar menemui Guru Sufi yang sedang duduk di teras mushola ditemani Sufi tua, Sufi Sudrun, Sufi Kenthir, Dullah, dan Sukiran. Dengan suara bergetar Obeth mengucap salam dan berkata kepada Guru Sufi,”Saya sudah menemukan Kebenaran dari semua yang sudah pernah Mbah Kyai sampaikan. Saya sadar, selama ini pikiran dan jiwa saya sangat dihegemoni oleh dogma, doktrin dan mitos masyarakat awam yang diyakini banyak orang sebagai suatu kebenaran umum.”
Guru Sufi tersenyum dan berkata,”Apa itu tentang Kebenaran faktual di balik kalimat Laahaula walaaquwwata ilabillahil aliyyil adhiim?”
“Benar sekali, Mbah Kyai,” sahut Obeth dengan nafas naik turun.
“Apa yang telah sampeyan alami selama khalwat sampai sampeyan menyadari Kebenaran kalimah Laa haula walaa quwwata ilabillahil aliyyil adhiim yang bermakna “tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung?” tanya Guru Sufi.
“Ee sewaktu saya tenggelam dalam kekhusyukan tanaffus dan tadzakkur,” ungkap Obeth menjelaskan,”Saya tiba-tiba merasakan bagaimana jantung saya berdetak, saya juga merasakan bagaimana keluar dan masuknya nafas serta getaran dari aliran darah saya. Saya merasakan itu semua Mbah Kyai.”
“Setelah itu?” tanya Guru Sufi dengan suara ditekan.
“Tiba-tiba saya merasakan ada sesuatu di kedalaman jiwa saya yang mengungkapkan fakta tentang bagaimana detak jantung saya ternyata berdetak sendiri tanpa bisa saya kendalikan. Saya terkejut dan sadar akan kenyataan faktual itu. Tetapi sesuatu di kedalaman jiwa saya itu mengungkapkan kenyataan faktual tentang keluar dan masuknya nafas saya yang ternyata tidak bisa saya kendalikan,” kata Obeth bergetar.
“Setelah itu?”
“Sesuatu di kedalaman jiwa saya itu terus mengungkap kenyataan-kenyataan faktual yang tak tersanggah bahwa kita itu sejatinya tidak memiliki daya dan kekuatan apa pun, bahkan sekedar daya dan kekuatan untuk mengatur segala sesuatu yang melekat pada diri kita,” kata Obeth menenangkan diri.
“Setelah sadar bahwa sampeyan tidak bisa mengatur detak jantung dan tidak pula bisa mengatur keluar dan masuknya nnafas, apalagi kesadaran yang sampeyan capai?” tanya Guru Sufi.
“Sesuatu di kedalaman jiwa saya mengungkapkan bagaimana saya tidak punya daya dan kekuatan untuk mengatur tumbuhnya rambut di kepala saya, tumbuhnya kumis dan janggut saya, tumbuhnya alis mata saya. Saya juga sadar bahwa saya ternyata tidak punya daya dan kekuatan untuk mengatur tumbuhnya kuku di jari tangan dan kaki saya. Saya sadar bahwa saya tidak punya daya dan kekuatan untuk mengatur sirkulasi darah dan unsur-unsur kimiawi di tubuh saya. Semua yang ada di dalam tubuh fisik saya bergerak dan berjalan sendiri di luar kontrol dan kendali saya,” kata Obeth menjelaskan.
“Padahal selama ini bagaimana pandangan sampeyan?”
“Seperti umumnya orang-orang yang pikirannya terhegemoni pandangan awam yang naif bahwa diriku adalah milikku yang kugerakkan sesuai keinginan dan kehendakku,” kata Obeth tegas,”Dan itu ternyata keliru dalam memaknai Kebenaran faktual.”
“Berarti selama ini samnpeyan ikut pandangan “Aku” yang diagungkan Chairil Anwar ya?”
“Tepat sekali Mbah Kyai,” sahut Obeth,”Selama ini saya meyakini kebenaran “Aku”-nya Chairil Anwar yang berkhayal seolah memiliki daya dan kekuatan untuk menentukan jalan hidup sendiri sebagai manusia eksistensialis. Dan ternyata, pandangan dan keyakinan saya itu tidak benar secara faktual.”
“Jadi yang Benar secara faktual sekarang ini menurut apa?” tanya Guru Sufi
“Laa haula walaaquwwata ilabillahil aliyyil adhiim.”
Para sufi bertepuk tangan dan satu demi satu saling menyalami Obeth yang dinilai telah memperoleh kenaikan maqam ruhani karena telah berhasil mencapai kesadaran yang berbeda dengan kesadaran seumumnya masyarakat. Namun untuk maqam itu, Obeth belum diberi gelar khusus sebagai sufi meski Dullah sudah mengusulkan gelar “Sufi Koming” untuknya.
Tulisan ini bersumber dari Sahabat Agus Sunyoto
Rabu, 06 Maret 2013
Khutbah Jumat: Perenungan Diri Setelah Maulid Nabi
Assalamu'alaikum...
Tiba saat memposting konsep khutbah yg insya Allah jg akan saya bacakan besok. Berikut intisarinya:
Rasulullah adalah figur yang lengkap yang sangat dan harus kita teladani. Peringatan Maulid Nabi yang sudah banyak berlalu tahun ini seharusnya menjadi momentum untuk merenungi apakah kita termasuk ummatnya yang menjadikan beliau tauladan dalam hidup. Apapun profesi dan pekerjaan kita selama itu dalam konteks kebaikan maka rujukan moralnya adalah Rasulullah saw. Bukankah didalam Al Quran pun Allah menjelaskan bahwa Rasulullah adalah tauladan terbaik?... selanjutnya silahkan Akhi/Sahabat/Saudara/Bapak untuk mengklik link downloadnya dibawah ini:
Khutbah Jumat: Perenungan Diri Setelah Maulidurrasul
Tiba saat memposting konsep khutbah yg insya Allah jg akan saya bacakan besok. Berikut intisarinya:
Rasulullah adalah figur yang lengkap yang sangat dan harus kita teladani. Peringatan Maulid Nabi yang sudah banyak berlalu tahun ini seharusnya menjadi momentum untuk merenungi apakah kita termasuk ummatnya yang menjadikan beliau tauladan dalam hidup. Apapun profesi dan pekerjaan kita selama itu dalam konteks kebaikan maka rujukan moralnya adalah Rasulullah saw. Bukankah didalam Al Quran pun Allah menjelaskan bahwa Rasulullah adalah tauladan terbaik?... selanjutnya silahkan Akhi/Sahabat/Saudara/Bapak untuk mengklik link downloadnya dibawah ini:
Khutbah Jumat: Perenungan Diri Setelah Maulidurrasul
Langganan:
Postingan (Atom)