Salam...

Rabu, 01 Mei 2013

UJE DAN TELADAN


Ranah pemberantasan korupsi di negeri ini, termasuk unsur-unsurnya seperti para penggiat anti korupsi dan pelaku korupsi itu sendiri (kelompok yang ini tentu dengan hati berdebar-debar) atau masyarakat Indonesia pada umumnya selalu menunggu apa yang akan disampaikan juru bicara KPK pada “Jumat Neraka”. Jumat neraka merupakan istilah yang disematkan oleh media/pers tanah air merujuk pada seringnya penetapan tersangka pelaku kasus korupsi diumumkan secara terbuka pada hari Jumat. Tapi di pagi Jumat tanggal 26 April 2013 sebagian besar masyarakat Indonesia khususnya umat muslim bukan dikejutkan berita tentang kasus korupsi melainkan sebuah berita duka seorang figur teladan. Yaitu berita tentang kecelakaan kendaraan roda dua yang mengakibatkan wafatnya da’i yang sangat populer yakni Ustadz Jefri al Bukhori. Rasanya sangat sedikit manusia yang sudah akil baligh di negeri ini yang tidak mengenal atau minimal pernah mendengar nama Jefri al Bukhori. Da’i yang sering dijuluki “Ustadz Gaul” ini memang merupakan muballigh yang sangat terkenal, hampir setiap hari wajahnya selalu muncul di televisi atau juga di mesjid-mesjid mengisi taushiah atau sekedar bersenandung dengan salawat. Jefri al Bukhori atau biasa disapa Uje adalah sosok yang fenomenal yang aktif dalam dunia dakwah. Beliau juga bisa dikategorikan seorang entertainer sehingga media-media di tanah air baik cetak, elektronik maupun online senang sekali memburu kabar beritanya. Uje adalah figur yang unik dan langka. Dia merupakan sosok rohaniawan yang mampu keluar dari pakem baku dari predikat yang disandangnya. Bahwa seorang ulama/ustadz harus selalu tampil dengan sorban, kopiah/peci, jubah atau sarung dengan baju muslim dan berbagai “pernak-pernik” yang justru tidak pernah diharuskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Tapi, beliau tampil dengan serba berbeda. Meminjam istilah Iwan Fals, beliau justru membongkar semua tradisi kaku seperti diatas. Seringkali kita jumpai Uje tanpa kopiah apalagi sorban kecuali hanya syal yang melingkar dilehernya. Busana beliau meskipun bernuansa muslim tapi dimodifikasi seindah mungkin sehingga kemudian menjadi trade mark-nya. Bahkan mampu mendorong anak-anak remaja dan pemuda muslim senang dan bangga memakai baju koko, tentunya baju atau busana muslim ala Ustadz Jefri. Beliau pun tetap memelihara janggut tapi tidak terlalu panjang dan selalu dirapikan, sehingga jauh dari kesan angker. Sehingga tradisi berjanggut yang memang disunnahkan semakin disukai oleh anak-anak muda. Beliau juga pencinta moge (motor gede) yang acapkali dianggap tidak pantas digunakan oleh seorang yang berstatus ustadz. Beliau memang pribadi yang fashionabel namun tanpa meninggalkan karakternya sebagai muslim sejati yang taat pada perintah Allah dan Rasul-Nya. Secara tradisional banyak orang naif berpikiran bahwa seorang ustadz tidak baik menggunakan pakaian seperti yang dikenakan oleh Uje semasa hidupnya. Tapi lihatlah disekeliling kita, betapa banyak orang yang bersorban, mengenakan peci, memakai jubah dan lain-lainnya. Kemudian mereka diberikan gelar ustadz/ulama oleh masyarakat setempat tapi di satu sisi justru mereka terlibat dalam berbagai kasus korupsi, kolusi, manipulasi, permainan proposal dana APBD/APBN. Terus mengejar kekuasaan, materi dengan segala keserakahan nafsu duniawi. Bahkan diantara mereka ada yang terlibat dengan kasus perselingkuhan atau perkelahian antar kelompok jamaah. Nauzubillahi min zalik. Kalau sudah begini masih pantaskah kita berpandangan sempit tentang persepsi lahiriah seorang ulama/ustadz?. Uje telah memberikan teladan yang sangat berarti bahwa makna seorang ulama bukan pada pakaiannya. Faktor keagungan seseorang bukanlah dilihat dari segi fisik atau lahiriahnya. Seorang agamawan bukanlah mereka yang mengedepankan nafsu rendah badani. Tetapi ulama harus dimaknai sebagai orang yang berilmu dan sekaligus memanifestasikan ilmunya dalam kesehariannya. Bahwa kemuliaan seseorang terletak pada kebersihan jiwanya yang tak bisa dinilai secara lahiriah. Bahwa kereligiusan seseorang adalah dengan mengutamakan kesucian bathiniahnya. Bukankah Sang Sumber Teladan Muhammad saw, telah menunjuk kedadanya ketika mengatakan bahwa iman itu ada disini?... Dalam beberapa kali taushiyahnya, Uje acapkali mengatakan ungkapan “saya yang berbicara ini tidaklah lebih baik dari kalian yang mendengar”. Beliau pun dalam salah satu acara dakwah di televisi menunjukkan kekurangsetujuannya dipanggil dengan sebutan Al Mukarram. Sebuah gelar yang biasanya disematkan kepada para ustadz. Ini sekali lagi menunjukkan kerendahan hati beliau. Sifat seperti ini juga sangat pantas untuk diteladani oleh semua orang dari berbagai status sosial. Uje pun telah berhasil mengajak banyak entertainer untuk berhijab, mendorong anak-anak muda negeri ini untuk mencintai pakaian muslim dan menunjukkan ciri-ciri ke-Islam-an lainnya. Uje juga mampu meretas persepsi busana muslim itu kaku. Uje sukses menghilangkan kesan eksklusif seorang ulama/ustadz karena–kali ini meminjam istilah judul sinetron- ustadz juga manusia. Uje telah menyampaikan kepada semesta bahwa kita bebas menggunakan karunia keindahan yang diberikan oleh Yang Maha Indah selagi dalam batas-batas syar’i. Bahwa dengan menutup aurat tidaklah harus jauh dari kesan fashionebel. Bahwa memperlihatkan identitas muslim melalui busana tidaklah harus ketinggalan zaman. Dan, bahwa dakwah bisa dilakukan dengan berbagai cara yang lebih membumi dan justru mampu diterima audien dengan baik. Seandainya saja, Uje diberi kesempatan untuk terus menghirup udara di dunia fana ini dan melanjutkan dakwahnya maka mungkin saja efek social yang ditimbulkan oleh skema religiusitasnya akan semakin meluas dan berdampak positif lebih tinggi. Seandainya saja, -sekali lagi hanya berandai-andai- Uje ditakdirkan berumur panjang mungkin saja para kaum tua nanti juga lebih senang menampakkan ke-Islam-an dalam berbusana yang tentunya khas Uje. Oleh karena kekaguman mereka kepada ustadz teladan ini. Hingga mereka bangga mengikuti gaya hidupnya. Sayang sekali, Hamba Allah yang telah meninggalkan contoh sikap hidup yang baik ini terlalu cepat pergi menghadap Penciptanya. Mungkin, banyak da’i-da’i bermunculan dengan menggunakan pakem gaul tapi Uje adalah pribadi yang berbeda. Atau, mungkin ada Uje-uje yang lain, yang berdakwah dengan menggunakan pendekatan yang hampir mirip tapi mereka jauh dari gemerlapnya dunia entertainment yang jauh dari media pemberitaan. Sehingga teladan mereka tidak meluas keseluruh pelosok negeri. Selamat jalan Uje. Semoga Allah mentakdirkan ada penerusmu baik itu dari trahmu maupun berasal dari saudara seiman. Selamat jalan Ustadz. InsyaAllah khusnul khatimah. Semoga arwahmu bersama para Nabi dan Rasul serta para wali-wali Allah. Selamat jalan saudaraku...

Tidak ada komentar: