Sebuah Catatan Kecil tentang Proses Rekrutmen Penyelenggara Pemilu di Kecamatan
Judul diatas
sepertinya mengesankan suatu keadaan “mengerikan” tentang sebuah Negara. Ironisnya Negara yang
dimaksud adalah Negara yang penduduk muslimnya terbesar di dunia, Negara yang
selalu mengedepankan prinsip kebersamaan – kata Bung Hatta, inilah karakter
bangsa yang karena itu sangat cocok dengan prinsipm ekonomi koperasi -, negeri
yang terkenal dengan keramahtamahannya.
Hampir semua orang yang sudah berakal di negeri ini mahfum
jika Negara ini sangat kental dengan praktek konspiratif di semua lini
kehidupan. Sehingga hampir-hampir tidak ada ruang untuk mengedepankan kapasitas
individu dan kualitas moral dalam sebuah perebutan posisi-posisi strategis
bahkan ditingkat pemerintahan terkecil sekalipun. Dan, inilah yang membuat saya sedikit
“terkejut” karena saya berpikir bahwa praktek konspiratif hanya terjadi di
level yang tinggi kecuali hanya sebagian kecil di level bawah. Tapi rupanya konspirasi
memang telah tersistem dinegara ini sehingga hipotesa bahwa Negara ini merupakan
Negara yang penuh konspirasi menjadi
kenyataan.
Penulis tahu, bahkan mungkin semua orang untuk menjadi
anggota penyelenggara pemilu atau Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik nasional
maupun daerah integritas, kapabilitas serta kapasitas saja tidaklah cukup untuk
mengantarkan seseorang menjadi anggota KPU. Tapi, kita pun tahu bahwa sebelum
menjadi “pemenang” proses seleksi yang
ketat harus dilalui terlebih dahulu. Mulai dari tes tertulis, lisan kemudian
uji public. Artinya sebelum melakukan lobi untuk menjadi anggota KPU/KPUD
terpilih seseorang harus terlebih dahulu dinyatakan sebagai terbaik 10 besar.
Sehingga orang-orang yang terpilih nanti betul-betul orang yang minimal punya
kapasitas terbaik.
Hal ini sangat berbeda untuk menjadi Panitia Pemilihan Kecamatan
(PPK) yang terkesan proses rekrutmennya asal-asalan, sekedar formalitas belaka –padahal
PPK merupakan ujung tombak penentu pemilu yang jurdil, merekalah yang mengelola
data dilapangan-. Tidak ada tes tertulis pemahaman seseorang tentang pemilu.
Tes lisan (interview) dengan pertanyaan ala kadarnya seperti apa makna
integritas, apa tugas PPK, bagaimana membangun kerja sama diantara anggota,
pendidikannya apa, berapa jumlah desa di kecamatan bersangkutan dan mungkin
sedikit ngobrol-ngobrol tentang pengalaman dalam pelaksanaan pemilu. Seseorang
yang berpendidikan S1 hampir pasti bisa menjawabnya dengan lugas kecuali yang
lulus dengan nilai “beli” atau nilai konspirasi juga…
Tapi, bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas dengan baik
tidaklah cukup membantu tanpa adanya lobi atau masuk dalam jejaring konspirasi.
Lihatlah, bagaimana ketika seorang eks ketum organisasi mahasiswa berkelas
provinsi, eks aktivis organisasi pergerakan berkelas nasional, mantan pengurus
KNPI provinsi tidak lulus “hanya” dalam pemilihan anggota PPK hanya karena
tidak melakukan lobi secara massif... Dan, ironisnya orang-orang yang “mengalahkannya”
juga bukanlah pribadi-pribadi dengan kapasitas besar atau orang-orang yang
mengerti mengelola pemilu yang
demokratis!?...
Jawabnya: karena Negeri ini bukan untuk mereka yang memiliki
kapasitas mumpuni kecuali mau masuk dalam jejaring konspirasi yang telah
membudaya…
Pebenaan, 19 Februari 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar