Salam...

Senin, 04 Maret 2013

NEGERI SEJUTA KONSPIRASI



Sebuah Catatan Kecil tentang Proses Rekrutmen Penyelenggara Pemilu di Kecamatan

Judul  diatas sepertinya mengesankan suatu keadaan “mengerikan”  tentang sebuah Negara. Ironisnya Negara yang dimaksud adalah Negara yang penduduk muslimnya terbesar di dunia, Negara yang selalu mengedepankan prinsip kebersamaan – kata Bung Hatta, inilah karakter bangsa yang karena itu sangat cocok dengan prinsipm ekonomi koperasi -, negeri yang terkenal dengan keramahtamahannya.
Hampir semua orang yang sudah berakal di negeri ini mahfum jika Negara ini sangat kental dengan praktek konspiratif di semua lini kehidupan. Sehingga hampir-hampir tidak ada ruang untuk mengedepankan kapasitas individu dan kualitas moral dalam sebuah perebutan posisi-posisi strategis bahkan ditingkat pemerintahan terkecil sekalipun.  Dan, inilah yang membuat saya sedikit “terkejut” karena saya berpikir bahwa praktek konspiratif hanya terjadi di level yang tinggi kecuali hanya sebagian kecil di level bawah. Tapi rupanya konspirasi memang telah tersistem dinegara ini sehingga hipotesa bahwa Negara ini merupakan Negara yang penuh konspirasi  menjadi kenyataan.
Penulis tahu, bahkan mungkin semua orang untuk menjadi anggota penyelenggara pemilu atau Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik nasional maupun daerah integritas, kapabilitas serta kapasitas saja tidaklah cukup untuk mengantarkan seseorang menjadi anggota KPU. Tapi, kita pun tahu bahwa sebelum menjadi “pemenang”  proses seleksi yang ketat harus dilalui terlebih dahulu. Mulai dari tes tertulis, lisan kemudian uji public. Artinya sebelum melakukan lobi untuk menjadi anggota KPU/KPUD terpilih seseorang harus terlebih dahulu dinyatakan sebagai terbaik 10 besar. Sehingga orang-orang yang terpilih nanti betul-betul orang yang minimal punya kapasitas terbaik.
Hal ini sangat berbeda untuk menjadi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) yang terkesan proses rekrutmennya asal-asalan, sekedar formalitas belaka –padahal PPK merupakan ujung tombak penentu pemilu yang jurdil, merekalah yang mengelola data dilapangan-. Tidak ada tes tertulis pemahaman seseorang tentang pemilu. Tes lisan (interview) dengan pertanyaan ala kadarnya seperti apa makna integritas, apa tugas PPK, bagaimana membangun kerja sama diantara anggota, pendidikannya apa, berapa jumlah desa di kecamatan bersangkutan dan mungkin sedikit ngobrol-ngobrol tentang pengalaman dalam pelaksanaan pemilu. Seseorang yang berpendidikan S1 hampir pasti bisa menjawabnya dengan lugas kecuali yang lulus dengan nilai “beli” atau nilai konspirasi juga…
Tapi, bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas dengan baik tidaklah cukup membantu tanpa adanya lobi atau masuk dalam jejaring konspirasi. Lihatlah, bagaimana ketika seorang eks ketum organisasi mahasiswa berkelas provinsi, eks aktivis organisasi pergerakan berkelas nasional, mantan pengurus KNPI provinsi tidak lulus “hanya” dalam pemilihan anggota PPK hanya karena tidak melakukan lobi secara massif... Dan, ironisnya orang-orang yang “mengalahkannya” juga bukanlah pribadi-pribadi dengan kapasitas besar atau orang-orang yang mengerti mengelola pemilu yang  demokratis!?...
Jawabnya: karena Negeri ini bukan untuk mereka yang memiliki kapasitas mumpuni kecuali mau masuk dalam jejaring konspirasi yang telah membudaya…
Pebenaan, 19 Februari 2013.

Tidak ada komentar: