Salam...

Minggu, 19 Mei 2013

REFLEKSI PENYELENGGARAAN UJIAN NASIONAL (UN) TH 2013

REFLEKSI PENYELENGGARAAN UJIAN NASIONAL (UN) TH 2013:
 Justifikasi Kecurangan Sampai Meredukdsi Wibawa Guru

“Buat ape kite belajar serius, nanti juge kite dibantu menjawab soal ujian. Kan guru malu kalo kita tak lulus?”… Inilah kalimat yang cukup sering diungkapkan oleh anak-anak sekolah hari ini ketika akan menghadapi ujian. Sebuah ungkapan ironis dalam konteks peningkatan kualitas pendidikan nasional kita. Secara tidak langsung ini juga merupakan sikap apatis terhadap dunia belajar mengajar di Negara ini. Ungkapan diatas hanyalah salah satu kalimat yang sering diungkapkan untuk menggambarkan keseluruhan proses penyelenggaraan UN. Dalam konteks peningkatan kualitas pendidikan maka ungkapan tersebut menggambarkan sebuah fakta miris dalam system pendidikan nasional kita. Ketika individu-individu yang dihasilkan dunia pendidikan kita justru banyak yang menjadi “penghancur” moral bangsa. Ketika output system pendidikan kita sering dipertanyakan, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) justru menciptakan sekaligus mempertahankan suatu system yang penuh kontroversi dan justru semakin melemahkan nilai-nilai edukasi negara kita. Polemik penyelenggaraan Ujian Nasional sepertinya sudah menjadi tradisi tahunan untuk diperdebatkan. Disatu sisi pihak Kementerian Pendidikan Nasional dengan berbagai argumennya berusaha mati-matian mempertahankan kelangsungan penyelenggaraan Ujian Nasional. Dipihak lain para aktivis LSM, pemerhati pendidikan bahkan mungkin juga pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan UN seperti lembaga-lembaga sekolah dan masyarakat umumnya meminta agar UN tidak dilaksanakan lagi. Perdebatan ini mungkin akan terus terjadi dan tak akan berhenti selama penyelenggara UN yaitu Kemendiknas tidak mampu menemukan formula terbaik untuk melaksanakan UN. UN dalam realitasnya telah menjelma menjadi momok menakutkan bak monster dalam cerita rakyat yang selalu datang setiap tahun untuk meminta tumbal. Bukan hanya calon peserta UN yaitu siswa-siswi tingkat akhir pada level masing-masing yang menunggu dengan penuh “ketakutan” tibanya “mahluk” bernama UN ini. Mulai dari guru, kepala sekolah, para orang tua semuanya seperti alergi dengan mahluk bernama UN. Semuanya bertanya-tanya didalam hati siapa lagi yang akan menjadi tumbal tahunan?… Ketakutan-ketakutan ini kemudian menjadi berlebihan sehingga mendorong pada terciptanya berbagai siasat untuk menghindari hasil buruk. Ketakutan-ketakutan yang kemudian menjelma menjadi hantu yang selalu menggiring pada kesesatan. Kesesatan mewujud pada terkondisikannya berbagai upaya kecurangan. Kesesatan ini kemudian termanifestasi dalam wajah pembiaran kolektif dalam melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai kesucian sebuah pendidikan. Sebagai orang tua, tidak satu pun dari mereka yang mau anaknya dijadikan tumbal UN dengan alasan pendataan, standarisasi, demi peningkatan kualitas pendidikan nasional atau apapun itu. Bahkan pihak pemerintah setempat pun ikut-ikutan sibuk memberikan “pengamanan” agar kualitas pendidikan di dalam wilayah teritorial mereka tidak dicap gagal. Oleh karena itu, atas nama menyelamatkan “muka” sekolah dan pemerintah daerah setempat dilakukanlah berbagai upaya meskipun harus menciderai nilai-nilai yang justru lekat dengan dunia pendidikan itu sendiri. Dalam sebuah kasus, kepala sekolah bahkan memerintahkan siswanya yang menjadi peserta UN untuk membuka buku sewaktu berlangsungnya ujian jika siswa tersebut tidak tahu jawaban soal. “Tim Sukses” pun dibentuk untuk membantu meluluskan peserta ujian baik itu bertugas selama ujian berlangsung maupun setelah ujian. Peristiwa ini bukan lagi sesuatu yang dianggap aurat tetapi sudah mentradisi secara turun temurun. Siswa yang mengikuti ujian tahun ini pun akan mewariskan cerita “memalukan” ini pada adik kelasnya nanti. Saat masuk ke kelas 1 (satu), sang guru menanamkan nilai-nilai kejujuran. Ketika berada di kelas 2 (dua), sang pendidik pun menguatkan nilai-nilai ideal tersebut. Tapi disaat menginjakkan kaki di kelas 3 (tiga) perlahan peserta didik mengetahui bahwa apa yang pernah diajarkan gurunya tidaklah seratus persen dijaga oleh guru bersangkutan. Kegiatan belajar mengajar, pelajaran tambahan, try out seolah-olah hanya menjadi formalitas belaka. Karena toh mereka tahu bahwa nanti bila tiba masanya bantuan akan datang. Bahwa sesungguhnya para pendidik yang mengajar mereka juga menjustifikasi kegiatan contek menyontek, membuka buku kala ujian dan berbagai kecurangan lainnya dalam UN nanti. Peristiwa diatas bukanlah rekaan semata. Bukan juga cerita dari mulut ke mulut. Melainkan tragedy yang terjadi secara nyata dan memiliki validitas tinggi sebagai suatu informasi. Ibarat mutawatir dalam kaidah hukum periwatan sebuah hadis. Bahwa telah terjadi pembiaraan kebohongan massal adalah kenyataan yang tak bisa dibantah. Bahwa tergerusnya wibawa guru merupakan tragedy memilukan dalam dunia pendidikan. Bahwa semakin hilangnya kepercayaan semesta kepada dunia pendidikan adalah kondisi riil dunia pendidikan nasional kita. Bahwa 3 (tiga) tahun, 6 (enam) tahun atau bahkan lebih lama dari itu, penanaman nilai-nilai moral sebagai efek pendidikan terhapus seketika hari itu juga adalah suatu sejarah pahit yang akan terus mendiami memori kolektif anak-anak didik. Melihat realitas diatas yang begitu memilukan masih pantaskan para stakeholders dibidang pendidikan nasional bertahan dengan berbagai argument yang terkesan dibuat-buat. Bisakah hasil ujian nasional yang penuh kebohongan dijadikan barometer standar kualitas pendidikan kita? Dapatkah hasil UN yang sarat kecurangan dijadikan dasar pemetaan dunia pendidikan kita? Validkah hasil UN yang sesungguhnya lebih merupakan hasil kerja guru-guru bidang studi bersangkutan untuk dijadikan tiket masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN)? Masih pantaskah penyelenggaraan UN yang sarat nilai proyek materil dilaksanakan jika harus mengorbankan kewibawaan guru? Sejatinya masih banyak pertanyaan yang menggelayut di hati masyarakat kita. Tetapi beberapa pertanyaan diatas mungkin dapat mewakili keresahan social yang terjadi selama pelaksanaan UN. Bahwa UN memiliki dampak positif jelas iya. Tapi efek negatif yang ditimbulkan juga jelas lebih besar. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian lebih arif agar UN dapat menemui sasaran tanpa harus mengorbankan peserta didik dan guru. Skema pelaksanaan UN juga harus dikonstruk ulang sehingga kesan angker tidak melekat padanya. Sejatinya pun reorientasi penegakan nilai-nilai moral harus terintegrasi dalam penyelenggaraan UN. Sebagai suatu hasil olah pikir para ahli pendidikan, sebagai hasil “studi banding” dari kebijakan system pendidikan dari negeri bule sono mungkin tidak juga terlalu tepat jika UN dihapuskan begitu saja. Bahkan mungkin tetap harus ada tapi tentu dengan skema, orientasi dan paradigma yang berbeda. Dan tentunya, unsur-unsur filosofis UN yang lahir di Barat sana harus terpenuhi terlebih dahulu di negeri ini. Atau jika tidak, dunia pendidikan kita semakin jatuh, moralitas anak negeri kedepannya semakin ambruk dan Negara semakin terpuruk?!.

Kamis, 02 Mei 2013

Khutbah Jumat: Keteladanan Abu Bakar Ash Siuddiq


KETELADANAN ABUBAKAR ASH-SIDDIQ ( A.Rahman Masiga ) “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. An-Nisa ; 58). Jamaah Jumat yang dimuliakan Allah Kini kita telah berada dalam bulan Rabiul Awwal bulan dimana kita melaksanakan Peringatan Maulid Nabi untuk menapaktilasi perjuangan Rasulullah saw. sebagai wujud kecintaan kita terhadap beliau. Rasulullah adalah manusia pilihan, tidak ada lagi mahluk yang diciptakan Allah semulia dan seagung beliau. Dalam perjuangannya menegakkan agama Allah dimuka bumi, Nabiyullah Muhammad saw juga ditemani sekumpulan manusia-manusia mulia yang menjadi karunia tersendiri bagi beliau dan juga bagi kaum muslimin sesudahnya yaitu sahabat-sahabat beliau yang sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya. Salah satu sahabat beliau yang sangat akrab ditelinga kita yaitu Abubakar Ash-shiddiq. Abubakar ra. adalah manusia paling mulia setelah Rasulullah saw. Mengingat Rasulullah selayaknya juga mengingat sahabat-sahabat beliau. Oleh karena itu, pada kesempatan ini khatib akan memaparkan beberapa catatan penting tentang Abu Bakar ra. yang patut diteladani oleh segenap kaum muslimin. Jamaah Jumat rahimakumullah Beberapa catatan penting tentang Abubakar ra yang patut kita teladani adalah sebagai berikut: 1. Sikap Abu Bakar terhadap berita wafatnya Rasulullah Sewaktu berita wafat Rasulullah tersiar di kota Madinah timbul kegelisahan yang hebat dikalangan umat Islam. Terlebih bagi sahabat Nabi, Umar bin Khattab, yang terkenal bertempramen keras, ia menganggap berita itu sebagai provokasi dari pihak musuh Islam yang ingin mengacau dan membuat keonaran. Dengan pedang terhunus ditangan, ia berdiri diruang depan masjid Nabawi, mengancam siapapun yang berani menyebarkan berita wafatnya Nabi akan ia bunuh. Lain halnya dengan sikap Abu Bakar Ash-Shddiq. Ia segera pergi ke rumah Aisyah tempat Nabi dirawat dan langsung menuju kamar tempat jenazah Nabi dibaringkan, dan setelah menyaksikan bahwa beliau benar-benar telah tiada, ia mencium kening Nabi, melepaskan rasa sedihnya yang dalam seraya berkata: “Oh, alangkah harumnya jasadmu wahai Nabi, baik ketika engkau masih hidup ataupun setelah engkau wafat”. Kemudian Abu Bakar kembali ke ruang mesjid Nabawi dan menyampaikan berita tentang wafatnya Nabi tanpa menghiraukan Umar bin Khattab yang berdiri sambil menghunus pedang. Abu Bakar berpidato: “Wahai kaum muslimin, dengarlah oleh kamu sekalian. Barangsiapa menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad kini telah wafat. Dan barangsiapa menyembah Allah, maka ketahuilah bahwa Allah itu kekal abadi tak mengalami kematian”. Kemudian Abu Bakar membacakan ayat Al Quran: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur” (QS. Ali Imran : 144). Ketika Umar bin Khattab mendengar ayat yang dibacakan oleh Abubakar, ia sadar bahwa Rasulullah yang sangat dicintainya itu telah wafat. Umar menangis sedih, menyesali dirinya. 2. Proses terpilihnya Abubakar menjadi khalifah Setelah Rasulullah wafat, sejarah Muslim memasuki fase khulafa Rasyidin yang berlangsung selama satu generasi. Secara berturut-turut sahabat terbaik Nabi memegang tampuk pemerintahan sebagai kepala negara yakni Abubakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Walaupun dalam penggantian khalifah tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya tidak sama tapi pada prinsipnya, pola yang dianut cenderung sama. Kepala Negara, baru sah memangku jabatannya setelah mendapat bai’at dari rakyat. Unsur pemberian kepercayaan dari rakyat justru sangat vital dalam kaitannya dengan pengukuhan jabatan. Abubakar sendiri, memangku jabatan khalifah berdasarkan pemilihan yang berrlangsung di Muktamar Saqifah Bani Sa’idah. Muktamar ini oleh kalangan ahli sejarah dinilai berlangsung sangat demokratis dan memenuhi tata cara perundingan yang dikenal oleh dunia modern saat ini. 3. Beberapa kelebihan Abubakar dari sahabat lain Beliau terpilih menjadi khalifah pertama karena kelebihan-kelebihannya, antara lain beliau adalah sahabat utama Rasulullah, dimana pada diri beliau terdapat semua persyaratan yang dikehendaki oleh semua pihak. Ia orang pertama yang memeluk Islam dari kalangan dewasa dan melalui dia beberapa tokoh lain ikut memeluk Islam. Abubakar pula yang mendampingi Rasulullah berhijrah ke Yatsrib (Madinah). Ia juga mertua Nabi, dengan demikian Abubakar pun ada sangkut pautnya dengan ahlul-bait (keluarga dekat Nabi). Keagungan lain Abubakar yang sangat menonjol sebagaimana diterangkan oleh Dr. Mustafa As-Siba’iy dalam kitabnya ‘Udhama’una fit-Tarikh, adalah keimanan dan keyakinan kepada Allah dan Rasulnya yang kokoh, tiada bandingnya. Pengorbanannya, baik harta maupun jiwanya dalam menyiarkan dakwah Islam, menolong dan melindungi Nabi; Kecerdasan akalnya serta keteguhan dan ketegaran jiwanya dalam menghadapi setiap masalah besar muncul, terutama pada masa pemerintahannya. Antara lain ketika menghadapi kaum separatis dan kaum pembangkang, sikapnya tegas, mereka harus diperangi, sementara para sahabatnya keberatan. Dan yang terakhir, kebersihan dan kesucian pribadinya, sejak zaman jahiliyah tidak menyembah berhala dan tak pernah meminum-minuman keras, juga kethawadhuan dan kesederhanaan pola hidupnya meskipun beliau telah memangku jabatan sebagai khalifah, pimpinan tertinggi negara. 4. Peletak Dasar-dasar Negara Hukum Abubakar ra. Dipilih oleh rakyat dengan bebas, sukarela dan ikhlas. Ia menyadari bahwa kebenaran itu hanya dapat ditemukan dalam musyawarah yang bebas, yang didasarkan pada niat yang baik, dengan cara memperbandingkan dan menguji beberapa pendapat yang berlainan, dalam rangka mencari jalan untuk mendapatkan kebenaran. Setelah rakyat membai’atnya sebagai tanda resmi diangkat sebagai khalifah, Abubakar menyampaikan pidato yang sangat monumental. Ia antara lain berkata: “Jika aku bertindak baik dan benar maka dukung dan bantulah aku. Tetapi jika aku berbuat keliru dan salah maka tegur, perbaiki dan luruskanlah aku. Menegakkan kebenaran adalah suatu amanat, sedangkan melakukan kedustaan adalah tindakan khianat. Taatilah aku, selama aku menaati (ajaran) Allah dan Rasul-Nya. Dalam hal aku tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka aku tidak berhak lagi untuk kamu taati”. Dengan perkataannya ini, Abubakar telah meletakkan dasar pemerintahan yang terbuka (open management). Dan, secara moril telah menggiring ketaatan rakyat kepada pemimpinnya selama pemimpin tersebut berada di jalur yang benar dalam arti menaati Allah dan Rasul-Nya. Benar atau salah tidak tergantung pada pendapat sepihak, baik yang berkuasa maupun rakyat yang menentang tapi dasarnya adalah hukum, yaitu tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Demikianlah Abubakar telah memberikan filosofi pemerintahan yang baik, demokratis, jujur dan adil, sesuai dengan tuntunan-tuntunan dan tata cara bernegara dan berpemerintahan yang Islami. Lebih jauh, Abubakar pun sesungguhnya telah menanam bibit-bibit hak asasi manusia (HAM) yang justru kini menjadi trend yang banyak didengung-dengungkan para aktivis kemanusiaan serta sangat banyak diidamkan oleh umat manusia untuk hudip dalam kebebasan dan kemerdekaan. Jika kita ingat bahwa Abubakar hidup pada abad ke-7 Masehi, maka berkat tuntunan dan ajaran Islam yang dianut dan diyakininya, ia telah mendahului bangsa-bangsa lain dalam penegakan hak-hak asasi manusia. Disini letaknya keluhuran dan keteladanan Abubakar yang telah meletakkan dasar yang sehat dalam pemerintahannya, sekaligus peletak dasar bagi negara modern. Tidak salah jika para sejarawan Barat, menempatkan Khalifah Abubakar ra sebagai The Great Statemen, seorang Negarawan Besar, berkat kebijaksanaannya dalam menjalankan roda pemerintahannya.

Rabu, 01 Mei 2013

UJE DAN TELADAN


Ranah pemberantasan korupsi di negeri ini, termasuk unsur-unsurnya seperti para penggiat anti korupsi dan pelaku korupsi itu sendiri (kelompok yang ini tentu dengan hati berdebar-debar) atau masyarakat Indonesia pada umumnya selalu menunggu apa yang akan disampaikan juru bicara KPK pada “Jumat Neraka”. Jumat neraka merupakan istilah yang disematkan oleh media/pers tanah air merujuk pada seringnya penetapan tersangka pelaku kasus korupsi diumumkan secara terbuka pada hari Jumat. Tapi di pagi Jumat tanggal 26 April 2013 sebagian besar masyarakat Indonesia khususnya umat muslim bukan dikejutkan berita tentang kasus korupsi melainkan sebuah berita duka seorang figur teladan. Yaitu berita tentang kecelakaan kendaraan roda dua yang mengakibatkan wafatnya da’i yang sangat populer yakni Ustadz Jefri al Bukhori. Rasanya sangat sedikit manusia yang sudah akil baligh di negeri ini yang tidak mengenal atau minimal pernah mendengar nama Jefri al Bukhori. Da’i yang sering dijuluki “Ustadz Gaul” ini memang merupakan muballigh yang sangat terkenal, hampir setiap hari wajahnya selalu muncul di televisi atau juga di mesjid-mesjid mengisi taushiah atau sekedar bersenandung dengan salawat. Jefri al Bukhori atau biasa disapa Uje adalah sosok yang fenomenal yang aktif dalam dunia dakwah. Beliau juga bisa dikategorikan seorang entertainer sehingga media-media di tanah air baik cetak, elektronik maupun online senang sekali memburu kabar beritanya. Uje adalah figur yang unik dan langka. Dia merupakan sosok rohaniawan yang mampu keluar dari pakem baku dari predikat yang disandangnya. Bahwa seorang ulama/ustadz harus selalu tampil dengan sorban, kopiah/peci, jubah atau sarung dengan baju muslim dan berbagai “pernak-pernik” yang justru tidak pernah diharuskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Tapi, beliau tampil dengan serba berbeda. Meminjam istilah Iwan Fals, beliau justru membongkar semua tradisi kaku seperti diatas. Seringkali kita jumpai Uje tanpa kopiah apalagi sorban kecuali hanya syal yang melingkar dilehernya. Busana beliau meskipun bernuansa muslim tapi dimodifikasi seindah mungkin sehingga kemudian menjadi trade mark-nya. Bahkan mampu mendorong anak-anak remaja dan pemuda muslim senang dan bangga memakai baju koko, tentunya baju atau busana muslim ala Ustadz Jefri. Beliau pun tetap memelihara janggut tapi tidak terlalu panjang dan selalu dirapikan, sehingga jauh dari kesan angker. Sehingga tradisi berjanggut yang memang disunnahkan semakin disukai oleh anak-anak muda. Beliau juga pencinta moge (motor gede) yang acapkali dianggap tidak pantas digunakan oleh seorang yang berstatus ustadz. Beliau memang pribadi yang fashionabel namun tanpa meninggalkan karakternya sebagai muslim sejati yang taat pada perintah Allah dan Rasul-Nya. Secara tradisional banyak orang naif berpikiran bahwa seorang ustadz tidak baik menggunakan pakaian seperti yang dikenakan oleh Uje semasa hidupnya. Tapi lihatlah disekeliling kita, betapa banyak orang yang bersorban, mengenakan peci, memakai jubah dan lain-lainnya. Kemudian mereka diberikan gelar ustadz/ulama oleh masyarakat setempat tapi di satu sisi justru mereka terlibat dalam berbagai kasus korupsi, kolusi, manipulasi, permainan proposal dana APBD/APBN. Terus mengejar kekuasaan, materi dengan segala keserakahan nafsu duniawi. Bahkan diantara mereka ada yang terlibat dengan kasus perselingkuhan atau perkelahian antar kelompok jamaah. Nauzubillahi min zalik. Kalau sudah begini masih pantaskah kita berpandangan sempit tentang persepsi lahiriah seorang ulama/ustadz?. Uje telah memberikan teladan yang sangat berarti bahwa makna seorang ulama bukan pada pakaiannya. Faktor keagungan seseorang bukanlah dilihat dari segi fisik atau lahiriahnya. Seorang agamawan bukanlah mereka yang mengedepankan nafsu rendah badani. Tetapi ulama harus dimaknai sebagai orang yang berilmu dan sekaligus memanifestasikan ilmunya dalam kesehariannya. Bahwa kemuliaan seseorang terletak pada kebersihan jiwanya yang tak bisa dinilai secara lahiriah. Bahwa kereligiusan seseorang adalah dengan mengutamakan kesucian bathiniahnya. Bukankah Sang Sumber Teladan Muhammad saw, telah menunjuk kedadanya ketika mengatakan bahwa iman itu ada disini?... Dalam beberapa kali taushiyahnya, Uje acapkali mengatakan ungkapan “saya yang berbicara ini tidaklah lebih baik dari kalian yang mendengar”. Beliau pun dalam salah satu acara dakwah di televisi menunjukkan kekurangsetujuannya dipanggil dengan sebutan Al Mukarram. Sebuah gelar yang biasanya disematkan kepada para ustadz. Ini sekali lagi menunjukkan kerendahan hati beliau. Sifat seperti ini juga sangat pantas untuk diteladani oleh semua orang dari berbagai status sosial. Uje pun telah berhasil mengajak banyak entertainer untuk berhijab, mendorong anak-anak muda negeri ini untuk mencintai pakaian muslim dan menunjukkan ciri-ciri ke-Islam-an lainnya. Uje juga mampu meretas persepsi busana muslim itu kaku. Uje sukses menghilangkan kesan eksklusif seorang ulama/ustadz karena–kali ini meminjam istilah judul sinetron- ustadz juga manusia. Uje telah menyampaikan kepada semesta bahwa kita bebas menggunakan karunia keindahan yang diberikan oleh Yang Maha Indah selagi dalam batas-batas syar’i. Bahwa dengan menutup aurat tidaklah harus jauh dari kesan fashionebel. Bahwa memperlihatkan identitas muslim melalui busana tidaklah harus ketinggalan zaman. Dan, bahwa dakwah bisa dilakukan dengan berbagai cara yang lebih membumi dan justru mampu diterima audien dengan baik. Seandainya saja, Uje diberi kesempatan untuk terus menghirup udara di dunia fana ini dan melanjutkan dakwahnya maka mungkin saja efek social yang ditimbulkan oleh skema religiusitasnya akan semakin meluas dan berdampak positif lebih tinggi. Seandainya saja, -sekali lagi hanya berandai-andai- Uje ditakdirkan berumur panjang mungkin saja para kaum tua nanti juga lebih senang menampakkan ke-Islam-an dalam berbusana yang tentunya khas Uje. Oleh karena kekaguman mereka kepada ustadz teladan ini. Hingga mereka bangga mengikuti gaya hidupnya. Sayang sekali, Hamba Allah yang telah meninggalkan contoh sikap hidup yang baik ini terlalu cepat pergi menghadap Penciptanya. Mungkin, banyak da’i-da’i bermunculan dengan menggunakan pakem gaul tapi Uje adalah pribadi yang berbeda. Atau, mungkin ada Uje-uje yang lain, yang berdakwah dengan menggunakan pendekatan yang hampir mirip tapi mereka jauh dari gemerlapnya dunia entertainment yang jauh dari media pemberitaan. Sehingga teladan mereka tidak meluas keseluruh pelosok negeri. Selamat jalan Uje. Semoga Allah mentakdirkan ada penerusmu baik itu dari trahmu maupun berasal dari saudara seiman. Selamat jalan Ustadz. InsyaAllah khusnul khatimah. Semoga arwahmu bersama para Nabi dan Rasul serta para wali-wali Allah. Selamat jalan saudaraku...

Kamis, 14 Maret 2013

Khutbah Jumat: Akhlaq Mulia adalah Sasaran Dakwah Rasulullah SAW


Suatu ummat akan abadi dan jaya

Bila budi akhlaq masih ada padanya
            Ummat itu akan hancur dan binasa
            Bila akhlaq dan budi telah tiada.

Begitu bunyi madah penyair Mesir yang bernama Syauqi Bey.
Hal ini sejalan dengan hadist Rasulullah saw yang terkenal:

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq”.

Seterusnya silahkan download disini!...



Download Button

Senin, 11 Maret 2013

Proposal Budi Daya Ikan Tambak

Salam Blogger...
Di hari Nyepi ini aku ingin membagikan proposal tambak ikan. Bagi yang memerlukan silahkan download dengan meng-klik dibawah ini!

Download Button

Kamis, 07 Maret 2013

Post Hegemony XIV: Laa haula walaa quwwata ilabillahil aliyyil adhiim


       Setelah khalwat  selama enam  hari di ruang samping mushola, pada malam hari ketujuh Obeth keluar menemui Guru  Sufi yang sedang duduk di teras mushola ditemani Sufi tua, Sufi Sudrun, Sufi Kenthir, Dullah, dan Sukiran. Dengan suara bergetar Obeth  mengucap salam dan berkata kepada  Guru Sufi,”Saya sudah menemukan Kebenaran dari semua yang sudah pernah  Mbah Kyai sampaikan. Saya sadar, selama ini pikiran dan jiwa saya sangat dihegemoni oleh dogma, doktrin dan mitos masyarakat awam  yang diyakini banyak orang sebagai suatu kebenaran  umum.”
    Guru Sufi tersenyum dan berkata,”Apa itu tentang Kebenaran faktual di balik kalimat Laahaula walaaquwwata ilabillahil aliyyil adhiim?”
    “Benar sekali, Mbah Kyai,” sahut Obeth dengan nafas naik turun.
    “Apa yang telah sampeyan alami selama khalwat sampai sampeyan menyadari Kebenaran kalimah Laa haula walaa quwwata ilabillahil aliyyil adhiim yang bermakna “tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung?” tanya Guru Sufi.
    “Ee sewaktu saya tenggelam dalam kekhusyukan  tanaffus dan tadzakkur,” ungkap Obeth menjelaskan,”Saya tiba-tiba merasakan bagaimana jantung saya berdetak, saya juga merasakan bagaimana keluar dan masuknya nafas serta getaran dari aliran darah saya. Saya merasakan itu semua Mbah Kyai.”
    “Setelah itu?” tanya Guru Sufi dengan suara ditekan.
    “Tiba-tiba saya merasakan ada sesuatu di kedalaman jiwa saya yang mengungkapkan fakta tentang bagaimana  detak jantung saya  ternyata berdetak sendiri tanpa bisa saya kendalikan. Saya terkejut dan sadar akan kenyataan faktual itu. Tetapi sesuatu di kedalaman jiwa saya itu mengungkapkan  kenyataan faktual tentang  keluar dan masuknya nafas saya yang  ternyata tidak bisa saya kendalikan,” kata Obeth bergetar.
    “Setelah itu?”
    “Sesuatu di kedalaman jiwa saya itu terus mengungkap kenyataan-kenyataan faktual yang tak tersanggah bahwa kita itu sejatinya tidak memiliki daya dan kekuatan apa pun, bahkan sekedar daya dan kekuatan untuk mengatur segala sesuatu yang melekat pada diri kita,” kata Obeth menenangkan diri.
    “Setelah sadar bahwa sampeyan tidak bisa mengatur detak jantung dan tidak pula bisa mengatur keluar dan masuknya nnafas, apalagi kesadaran yang sampeyan capai?” tanya Guru Sufi.
    “Sesuatu di kedalaman jiwa saya mengungkapkan bagaimana saya tidak punya daya dan kekuatan untuk  mengatur tumbuhnya rambut di kepala saya, tumbuhnya kumis dan janggut saya, tumbuhnya alis mata saya. Saya juga sadar bahwa saya ternyata tidak punya daya dan kekuatan untuk mengatur tumbuhnya kuku di jari tangan dan kaki saya. Saya sadar bahwa saya tidak punya daya dan kekuatan untuk mengatur sirkulasi darah dan unsur-unsur kimiawi di tubuh saya. Semua yang ada di dalam tubuh fisik saya bergerak dan berjalan sendiri di luar kontrol dan kendali saya,” kata Obeth menjelaskan.
    “Padahal selama ini bagaimana pandangan sampeyan?”
    “Seperti umumnya orang-orang yang pikirannya terhegemoni pandangan awam yang naif bahwa diriku adalah milikku yang kugerakkan sesuai keinginan dan kehendakku,” kata Obeth tegas,”Dan itu ternyata keliru dalam memaknai Kebenaran faktual.”
    “Berarti selama ini samnpeyan ikut pandangan “Aku” yang diagungkan Chairil Anwar ya?”
    “Tepat sekali Mbah Kyai,” sahut Obeth,”Selama ini saya meyakini kebenaran “Aku”-nya Chairil Anwar yang berkhayal seolah memiliki daya dan kekuatan untuk menentukan jalan hidup sendiri sebagai manusia eksistensialis. Dan ternyata, pandangan dan keyakinan saya itu tidak benar secara faktual.”
    “Jadi yang Benar secara faktual sekarang ini menurut apa?” tanya Guru Sufi
    “Laa haula walaaquwwata ilabillahil aliyyil adhiim.”
    Para sufi bertepuk tangan dan satu demi satu saling menyalami Obeth yang dinilai telah memperoleh kenaikan maqam ruhani karena telah berhasil mencapai kesadaran yang berbeda dengan kesadaran seumumnya masyarakat. Namun untuk maqam itu, Obeth belum diberi gelar khusus sebagai sufi meski Dullah sudah mengusulkan gelar “Sufi Koming” untuknya.           

 Tulisan ini bersumber dari Sahabat Agus Sunyoto

Rabu, 06 Maret 2013

Khutbah Jumat: Perenungan Diri Setelah Maulid Nabi

Assalamu'alaikum...
Tiba saat memposting konsep khutbah yg insya Allah jg akan saya bacakan besok. Berikut intisarinya:
Rasulullah adalah figur yang lengkap yang sangat dan harus kita teladani. Peringatan Maulid Nabi yang sudah banyak berlalu tahun ini seharusnya menjadi momentum untuk merenungi apakah kita termasuk ummatnya yang menjadikan beliau tauladan dalam hidup. Apapun profesi dan pekerjaan kita selama itu dalam konteks kebaikan maka rujukan moralnya adalah Rasulullah saw. Bukankah didalam Al Quran pun Allah menjelaskan bahwa Rasulullah adalah tauladan terbaik?... selanjutnya silahkan Akhi/Sahabat/Saudara/Bapak untuk mengklik link downloadnya dibawah ini:

Khutbah Jumat: Perenungan Diri Setelah Maulidurrasul Download Button